IMAN KEPADA QADA DAN QADAR ALLAH SWT
Setidaknya ada dua kelompok ekstrim
dalam memandang Takdir Allah swt, yang pertama mengatakan, bahwa manusia
adalah “robot hidup” yang tidak memiliki kemauan, usaha dan lakunya
tergantung sec ara total dari kehendak Tuhan. Kelompok lain berpendapat,
bahwa manusia adalah makhluk bebas dengan kemampuan akal pikiran dan
potensi irodah ( kehendak ) dirinya ia dapat melakukan apa saja.
Menjawab dua sikap ekstrim ini Allah menegaskan dalam al-Qur’an :
( لمن شاء منكم أن يستقيم وما تشاءون إلا أن يشاء الله رب العالمين )
Terjemahan:
Bagi siapa diantara kamu yang berkehendak untuk istiqomah, tetapi
kalian tidak berkehendak melainkan atas masyi’ah (kehendak) Allah Tuhan
alam semesta (Q.S. at-Takwir: 28-29 ).
Sehubungan dengan tafsir ayat
tersebut Ibnu Katsir mengatakan: Siapa yang menginginkan hidayat, maka
hendaknya ia mengambil al-Qur’an (sebagai hidayat), hal itu merupakan
kunci selamat dan bahagia. Siapa saja bisa berkehendak hidayat atau
berkehendak kesesatan, tetapi kehendak itu tidak mutlak di tangan
kalian, melainkan mengikuti kehendak Allah swt ( tafsir Ibnu Katsir
4/481 ).
Sayyid Quthub berkata dalam “Fi Zhilal al-Qur’an, bahwa
setelah diberikan potensi berfikir dan penjelasan dari Allah lewat para
Rasul, manusia dapat memilih untuk mengambil jalan lurus atau menyimpang
darinya. Pilihan tersebut akan diminta pertanggungjawaban kelak.
Hendaknya mereka juga memahami, bahwa kehendak mereka itu tidak terlepas
dari kehendak Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (Fi Zhilal
al-Qur’an 6/3843 ).
Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa
diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang
Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada
zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan
celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak
pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia
tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau
kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih,
berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan
menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.
Dengan bekal
keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang
mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan
tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT. Ia
akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang
kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih
berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan
berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits
Rasul berikut ini.
“Tiada suatu bencana
pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid:
22-23)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
(al-An’aam: 59)
“Tiada
seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau
di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal
saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah
…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).’ Kemudian, beliau
membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan
Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),
maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun
orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala
yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar
(al-Lail: 5-10).’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Sangat
mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung
kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali
orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia
bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan
kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.”
(HR Muslim dari, Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)
A. Definisi.
Secara etimologi, Qadha memiliki banyak pengertian sebagaimana berikut.
-Perintah. kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah di bawah ini.
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (al-Israa`:23)
-Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat berikut ini.
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” (al-Hijr: 66).
Imam
az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak.
Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna
kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu al-Atsir 4/78)
Adapun
Qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran
yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah
berikut ini.
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang
kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Fushshilat: 10)
Dari sudut
terminologi, Qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah
ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya
suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Ibnu Hajar
berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli
(universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar
adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.”
(Fathul-Baari 11/477)
Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat
sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali,
sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.
Sebenarnya, qadha
dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin
satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya
merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa
yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan
tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’
al-Ushuul 10/104).
Dalil-dalil Qadha dan Qadar
Beriman
kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman
seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu
Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa
yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya
sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar,
maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh al-Islam,
8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan
faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin.
Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.
-Hadits Jibril yang
diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya
oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah,
Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada
qadar baik maupun buruk.” (HR Muslim)
-“Sekiranya Allah SWT menyiksa
penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi
mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik
daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung
Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak
akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu
mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset
darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu,
dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya
kamu masuk neraka.” (HR Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)
Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.
“Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadiid:
22-23)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
(al-Qamar: 49)
“(Yaitu
di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka
berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di
bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari
pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari
pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar
Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang
yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang
yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Anfaal: 42)
Tidak
ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya
pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah
itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
“Yang
pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena
(al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya,
‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada
dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
“Tiada seorang
pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.
Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya,
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena
setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat
ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang
bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka
kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan
Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
“Adapun orang yang memberikan
(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang
mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup
serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan
baginya (jalan) yang sukar.” (al-Lail: 5-10)
B. Hakikat Takdir Allah SWT.
Agar takdir dapt dipahami dengan benar dan proporsional, maka hendaknya kita memahami hakikat Takdir itu sendiri.
a.
Takdir Allah hendaknya didasari dengan pandangan “Husnu Azh-Zhon”
(berbaik sangka) kepada Allah swt. Maksudnya, bahwa iman kepada takdir
Allah didasari dengan keyakinan terhadap ke-Mahabijaksanaan Allah swt
dan ke-MahatahuanNya atas segala yang menimpa hambaNya. Seringkali suatu
kejadian nampaknya buruk dalam pandangan manusia, tetapi dalam
pandangan Allah swt suatu kebaikan, sebab segala perbuatan Allah adalah
kebaikan mutlak ( Lihat: Abdur-Rahmnan Habannakah, Pokok-pokok Akidah
Islam, 674, th. 1998, GIP ).
b. Keimanan kepada Takdir Allah
bukan berarti meniadakan tanggung jawab mukmin atas perbuatannya dan
pilihannya dalam kehidupan. Sebagaimana firman Allah swt (Q.S.
al-Anbiya: 23) yang artinya: Allah tidak ditanya atas perbuatanNya,
tetapi manusia akan ditanya dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Segala sesuatu yang terjadi sebagai ketentuan qadho dan qodar mesti
diterima dengan ridha dan pasrah, dan diyakininya bahwa hal itu adalah
ke-Mahabijaksanaan Allah swt. Sedangkan dalam ruang lingkup tanggung
jawab manusia, ia berusaha menguasai sebab musabab yang merupakan
sunnatullah pada alam ciptaanNya (Lihat : Abdur-Rahman H, hal: 678 ).
c.
Iman kepada Takdir Allah merupakan sikap Tawakkal dan I’timad (
bersandar ) kepada allah swt. Tawakkal berarti berupaya melakukan
sesuatu sesuai ketentuan yang berlaku pada sunnatullah, dengan
menggunakan bekal-bekal dan potensi-potensi yang diberikan Allah untuk
manusia, kemudian berdo’a, memohon kemudahan kepadaNya. Hasil usaha dan
do’a tersebut diserahkan kepada Allah yang memiliki masyi’ah ilahiah.
C. Hikmah Iman Kepada Takdir
1.
Ibtila ( Ujian). Diantara hikmah Iman kepada Takdir Allah adalah
ujian kepada manusia, bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia, baik
atau buruk, semuanya merupakan ujian Allah. FirmanNya :
èÏNä.qè=ö7tRur ÎhŽ¤³9$$Î/ ÎŽösƒø:$#ur ZpuZ÷FÏù ( $uZøŠs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÌÎÈ
( ……..Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan …..) Q.S. Al-Anbiya: 35.
2.
Sarana Pendidikan dan Pengajaran. Allah swt dalam mendidik dan
mengajari hamba-hambaNya kadang-kadang menimpakan musibah dan
kadang-kadang memberikan kesenangan dan kenikmatan hidup. Suatu saat
Allah memberikan hadiah penghargaan, pada saat lain memberikan
teguran-teguran berupa sangsi-sangsi, baik bersifat fisik maupun moril.
3.
Pembalasan yang disegerakan. Allah swt kadangkala menyegerakan balasan
orang yang melakukan kemaksiatan, sebagaimana menyegerakan ganjaran
bagi yang berbuat baik. Semua itu dilakukan dalam rangka dapat dijadikan
pelajaran bagi orang lain yang menyaksikan balasan atau ganjaran
tersebut.
D. Pengaruh Iman kepada Takdir Allah SWT.
Iman kepada
Takdir Allah yang benar dan tepat tidak melahirkan sifat dan sikap yang
kontra produktif apalagi anarkis dan destruktif. Sebaliknya, bahwa
keimanan tersebut memberikan pencerahan hidup dan kehidupan.
Diantara buah dan pengaruh positif keimanan seseorang kepada Takdir Allah sebagai berikut :
1.
Ketenangan Jiwa . Setiap mukmin akan senantiasa merasa tenang dan
tentram, karena keimanan kepada ketentuan Allah swt. Sebab ia
berkeyakinan, bahwa apapun yang terjadi setelah upaya-upaya dilakukan,
tidak terlepas dari kebijaksanaanNya. Ia pun berkeyakinan bahwa Allah
tidak mungkin menyia-nyiakan hambaNya yang patuh kepada
ketentuan-ketentuanNya.
2. Al-Jiddiyah ( Serius dan Semangat
Bekerja ). Setiap mukmin merasa bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Pilihannya berdasarkan karunia Allah; Dia memberikan akal
pikiran, potensi baik dan kemampuan dalam rangka bekerja keras dan
berupaya meraih ketentraman dan kenyaman hidup. Persepsi ini memberikan
pemahaman lain, bahwa kesalahan atau kekalahan tidak boleh semata-mata
diarahkan kepada orang lain, atau mengkambinghitamkan Takdir.
Sebagaimana penjelasan Allah swt dalam peristiwa Perang Uhud ( Lihat
Q.S. Ali Imron: 165 ). Ayat ini memberikan landasan analisis kepada
manusia muslim dalam seluruh rangkaian struktur problematika yang
dihadapinya. Kefaktoran manusia sebagai sumber musibah adalah
sunnatullah, seperti penegasan Allah dalam ayat lain Q.S. 3: 137 (
Sesungguhnya telah berlalu sebelummu sunnah-sunnah Allah; karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat
orang-orang yang mendustakan ( Rasul-Rasul )
5. Sikap Tawakkal dan
Berserah Diri Kepada Allah. Seseorang yang beriman kepada Takdir Allah
berkeyakinan, bahwa kehendaknya dalam berupaya tidak bisa dipisahkan
dari kehendak Allah, artinya Allah swt tidak akan menyia-nyiakan hasil
usahanya dalam bekerja. Karenanya, ia senantiasa berharap rahmat dari
Allah dengan lantunan doa’-do’a menyertai usaha-usaha yang dilakukannya.
E. Rukun-Rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Beriman
kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun
ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap
mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga
kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga
tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama,
Ilmu Allah SWT. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman
kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia
mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit
dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh
makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan
hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang
akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.
“Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah
berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi
segala sesuatu.” (ath-Thalaaq: 12)
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan
selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 22)
“Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”(al-An’aam: 59)
“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)
Kedua,
Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis
dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh
Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang
terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.
“Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid:
22-23)
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya
yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)
“Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (al-An’aam: 38)
“Yang pertama kali diciptakan Allah
Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia
berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia
berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai
hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan
Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan
qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang
menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia
tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak
dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan
menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan
karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,
“Dan tiada sesuatu
pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Faathir: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (at-Takwiir: 29)
“Dan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan
berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah
(kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di
atas jalan yang lurus.” (al-An’aam: 39)
“Sesungguhnya keadaan-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’
maka terjadilah ia.” (Yaasiin: 82)
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR Bukhari)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada
Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat,
Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qodar, seorang mukmin
harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada
Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal
ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”
(az-Zumar: 62)
“Yang
kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai
anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah
menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan
serapi-rapinya.”(al-Furqaan: 2)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ (ash-Shaaffat: 96)
“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.”
(HR Hakim)
Inilah
empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap
muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau
didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang
sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut
berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika
bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan
pada bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-Macam Takdir
Takdir
ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan
pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala
sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,
Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam
lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat
Allah SWT memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu
yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini
berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(al-Hadiid: 22)
“Allah-lah
yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun
sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya
berada di atas air.” (HR Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir
yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika
pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini
mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan
sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang
malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat
perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia... .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
(ad-Dukhaan: 4-5)
Ahli
tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang
akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal,
dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam
setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat,
Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang
akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki,
menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan
lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (ar-Rahmaan: 29)
Ketiga
takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang
telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
BERDALIH DENGAN QADAR DALAM KEMAKSIATAN DAN MUSIBAH.
Semua
yang ditakdirkan oleh Allah SWT selalu tersirat hikmah dan maslahat
bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka,
Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak
pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak
boleh dinisbatkan kepada Allah SWT, melainkan dinisbatkan kepada amal
perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada
Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu
menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
(an-Nisaa`: 79)
Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang
dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang
menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.
Allah membenci
kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya,
Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan
dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk
memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka,
barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan
yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat
siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya
sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor
pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah SWT.
Maka,
tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran
dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah SWT. Oleh karena
itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at
Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;
“Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki,
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak
(pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah
orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka
merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu
pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak
mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah
berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka
jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.”
(al-An’am: 148-149)
“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah
menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain
Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan
sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang
sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai
rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” (an-Nahl: 35)
Adapun
berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat
dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan
Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.
“Adam
dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah
bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga.
Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan
Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela
kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku
sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka,
Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR Muslim)
Buah Iman Kepada Takdir
Muslim
yang meyakini akan qadha dan qadar Allah SWT secara benar akan
melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah
frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia
tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di
genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi
setiap permasalahan hidup.
DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua,
tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila
ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat.” (al-Ma’arij: 19-22)
Ketiga, selalu berhati-hati.
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak
terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang
yang merugi.” (al-A’raaf: 99)
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.ag
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar