Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang
sangat terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita
memilikinya?
Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di
hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang
mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat
terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’''adalah ketundukan kepada kebenaran dan
menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan
marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua
orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang
sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong
dengan sabdanya:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan
menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits
Abdullah bin Mas’ud z)
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam
rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan
anda memiliki benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala
terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada
Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan
hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua
dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap
tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.
Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran
Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan
tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang
bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di
dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Negeri
akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)
Fudhail bin Iyadh t (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan
kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari
siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak
akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah
bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah
seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat
derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)
Ibnul Qayyim t dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:
“Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran
walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang
dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada
Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq
datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa
menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala
yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”
Perintah untuk Tawadhu’
Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)
Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk
tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka
meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga
seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat
zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan
kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan
persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia
sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan
memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam
karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan
yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang
membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2.
Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia
karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin,
1/657).
Sifat Terpuji Taat
Beribadah secara Lillahitaalla (ikhlas) selalu taat, merupakan
salah satu cara untuk mendekatkan diri dan sangat disukai oleh Allah dan
Rasul-Nya. Taat secara bahasa adalah senantiasa tunduk dan patuh, baik
terhadap Allah, Rasul maupun ulil amri. Hal ini sudah tertuang didalam
Qs An Nisa ayat 59
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul ( Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
“.
Berpedoman pada sepotong firman Allah diatas yang
memerintahkan orang-orang yang beriman supaya selalu memurnikan ketaatan
hanya kepada Allah, Rasul maupun ulil amri. Soal pemimpin yang
bagaimana yang harus ditaati tsb ? tentu pemimpin yang juga taat kepada
Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah pemimpin yang memiliki sifat
seperti yang di uraikan diatas ? yang lebih mengutamakan kepentingan
umum&rakyat badarai diatas kepentingan pribadi dan keluarganya ?.
Taat pada Allah tidak hanya asal taat, didalam pelaksanaan
teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, dan dengan tampa alasan apapun menghentikan segala
larangan-Nya. Sebenarnya apa-apa yang menjadi perintah Allah Taalla
sudah tidak diragukan lagi pasti tersimpan segala kemaslahatan
(kebaikan), sedangkan apa-apa yang menjadi larangan-Nya sudah tertulis
akan segala kemudharatanya (keburukan). Kemudharatan (bencana alam
dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari
tidak menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Qs Ali Imran
ayat 32 memperjelasnya :
“ Katakanla, taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir “.
Begitu juga ketaatan kepada Rasul, yaitu Rasulullah Saw
dengan selalu meimplementasikan yang terdapat dalam hadis beliau.
Sebagai utusan Allah Nabi Muhammad Saw mempunyai tugas menyampaikan
amanah kepada umat manusia tampa memandang status, jabatan, suku dsb.
Oleh karena itu bagi setiap muslim yang taat kepada Allah Swt harus
melengkapinya dengan mentaati segala perintah Rasulullah Saw sebagai
utusan-Nya. Sebagai mana yang difirmankan Allah didalam Qs At Taqabun
ayat 12
“ Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan
(amanah Allah) dengan terang “.
Allah Swt adalah adalah khalik, pencipta alam semesta
beserta isinya ini. Rasulullah Saw adalah utusan-Nya untuk seluruh umat
manusia bahkan kelahiran dari beliau Saw alam semesta ini mendapat
rahmat yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu siapapun yang telah
berikrar (bersyahadad) maka dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban
dalam bentuk ketaatan kepada keduanya dalam situasi dan kondisi apapun.
Namun jenis ketaatan seperti yang disebutkan diatas akan lebih sempurna
kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan kepada ulil amri atau
pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus selalu taat dan mematuhi
peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selam
peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang
dari aturan agama Islam. Ketaatan itu bukan hanya harus
diimplementasikan pada pemimpin dalam artian luas saja dalam artian
sempitpun harus menjadi keseharian kita, seperti kepada orang-orang yang
memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi. Seorang anak harus taat
dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada
suaminya agar kasus-kasus perceraian yang marak terjadi belakangan ini
dan dengan berbagai macam penyebabnya dapat diminimalisir dsb. Dari Ibnu
Umar Ra. Nabi Muhammad Saw bersabda :
“ Wajib bagi seorang muslim mendengarkan dan taat sesuai
dengan yang disukai dan apabila diperintah untuk menjalankan maksiat
jangan dengarkan dan jangan taati “. ( Hr. Muslim ).
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan ulil amri
merupakan ketaatan yang akan berakibat baik terhadap amal ibadah kita
selama ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk
kebohongan, penyakit hati, kemunafikan dsb. Malah Islam sangat
memuliakan umatnya yang memiliki sifat tawaduk dengan selalu merendahkan
hati baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Kita sebagai
muslim harus menyadari bertawaduk merupakan bagian dari akhlakul karimah
yang melahirkan manusia-manusia yang berprilaku baik, dengan
memunculkan suatu kesadaran akan hakikat kejadian dirinya dan tidak
pernah mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih pintar, lebih
kaya, lebih ganteng, lebih cantik maupun lebih-lebih lainya antara
dirinya dengan orang lain.
“ Dan hamba-hamba tuhan yang maha penyayang itu adalah
orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka.mereka mengucapkan kata-kata yang baik
‘. ( Qs Al Furqan-63 ).
Sifat Terpuji Qana'ah ( Berfikir Positif )
A. Pengertian Qana’ah
Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang
dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang
yang berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau
berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru
orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila
hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati
menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang
demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan
diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW Bersabda :
" Abdullah bin Amru r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW,
sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan
merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya.
(H.R.Muslim)
orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa
yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT :
" Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya". (Hud : 6)
B. Qana’ah dalam kehidupan
Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena
sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam
keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan. Qana’ah berfungsi
sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan
stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan
selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan,
bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan
terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita
perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah,
namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya
banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya
tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian
hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi SAW bersabda dalam salah satu
hadisnya :
„ Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW : „ Bukanlah kekayaan
itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan
hati". ( H.R.Bukhari dan Muslim)
karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang
mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang
cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena
merasa masih kurang pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.
Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu
kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan
hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia
Allah.
Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan
nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat
berikut ini :
„ Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : saya pernah meminta
kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta
lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „
Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang
mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat baginya,
sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak
berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan
diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah !
Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan
menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian
Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya
belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima
sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum
muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah
memberikan haknya yang diberikan Alah padanya". (H.R.Bukhari dan Muslim
)
Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental.
Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan
kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang
memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah membudaya dalam diri
dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan
dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :
„ Qana’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap". (H.R.Thabrani)
demikianlah betapa pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang
apabila dimiliki oleh setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari akan mendorong terwujudnya masyarakat yang penuh dengan
ketentraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari keserakahan,seta
selal berfikir positif dan maju.
Betapa tidak, karena sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur
pokok yang dapat membangun pribadi muslim yang menerima dengan rela apa
adanya, memohon tambahan yang pantas kepada Allah serta usahadan
ikhtiar, menerima ketentuan Allah dengan sabar, bertawakkal kepada
Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Sifat Terpuji Sabar
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah
seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan
ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala
bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi
kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah,
menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari
perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya,
berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar
kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah
menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi.
Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua
adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari
kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab
untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan.
Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan
mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan
shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi
sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat
kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas
dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran
mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab
untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara
mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan
titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.”
(QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus
dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus
bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga
dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu
dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan
penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah
mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak
mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim.
Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang
terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya,
hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan
kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.”
(Taisirul wushul, hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan
ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di
hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti
syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal
ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh
yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang
berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan
kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh
dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka
cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong”
(Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah
mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang
timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati
posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang
datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti
akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i
pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan
orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan
apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para
pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi
kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja
syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut
bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena
dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan
yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul, hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan
para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan
terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan
Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula
datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas
hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa
menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud
pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu
ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima
dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk
pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan
dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia
bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga
hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang
menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu
‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada
seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya)
mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz
Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan
demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari
kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun,
hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…”
(Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang
tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan
ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan
tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan
keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji
sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang
dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya
bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara
sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai
Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu
persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah
kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun
diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada
hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari
saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan
makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh
salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan,
bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta,
bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama
sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.”
(QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah
akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.”
(QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu
bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan
keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin
Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan
Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu
‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia
berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan
akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat
terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka,
sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam
al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam
lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang
dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka
yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara
mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan
isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara
keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke
dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah
sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu
maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk
ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan
kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan
serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah
satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan
maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya
hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan
hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat
kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.”
(QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan
Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal.
15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam
ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi
takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada
hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini,
begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah
yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi
berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa,
anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan
menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau
yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab
Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada
Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala
mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini,
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam
agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota
badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk
mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah
yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar
ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at
serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi
musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah
jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu
bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah
sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat
Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia)
dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah
menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar
dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai
rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal
kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal
kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang
menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah
sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam
berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala
menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar
tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri,
semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka
menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid.
Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia
pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul
dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa
ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini,
untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala
tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga
ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan,
“Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”)
yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh,
tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan
lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah
dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka
menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh,
menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan
kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar
disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana
kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran
dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat
serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia
kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah”
artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar
tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin
memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan.
Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga
termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran
itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah
cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan
yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At
Tamhiid, hal.389-391)
0 komentar:
Posting Komentar